Rabu, 28 Maret 2012

Ketika Said bin Amir Menjadi Khalifah


Siapakah di dunia ini yang tidak ingin memiliki derajat, pangkat atau jabatan? Tentu saja hampir tidak ada! andaikan ada, jumlahnya amatlah sedikit, bahkan bisa jadi ia dianggap manusia aneh dan bodoh.


Said bin Amir adalah salah satu orang yang mengelak ketika mendapatkan jabatan gubernur. Penolakannya bukan karena beliau tidak senang dengan pemerintahan Umar bin Khattab, tetapi semata-mata karena ia takut kehidupannya akan condong kepada kemewahan dunia.




Namun setelah khalifah Umar memarahinya, akhirnya Said mau juga menerima jabatan itu.
“Celaka engkau! Engkau bebankan pada pundakku pemerintahan ini, tapi engkau justru menghindari beban itu, sungguh celaka kau Said!” Khalifah umar memarahinya.
“Demi Allah! Aku tidak akan membiarkanmu dalam kerepotan, wahai Amirul Mukminin,” sahut Said.
“Kalau begitu kau harus menjadi gubernur di Himsh” lanjut Khalifah Umar
Maka, sejak saat itulah Said Bin Amir memangku jabatan sebagai gubernur di Himsh. Dan berangkatlah Said dengan keluarganya menuju Himsh.


Ketika Said hendak berangkat, Khalifah Umar sempat bertanya kepada Said, “Berapa gaji yang kau inginkan Said?”
“Apa yang harus aku perbuat dengan gaji itu, ya Amirul Mukminin? Bukankah penghasilan dari Baitul Maal sudah cukup?” sahut Said penuh kerendahan.
Setelah Said bin Amir memerintah Himsh untuk beberapa waktu, Khalifah Umar meminta utusan dari Himsh untuk menerangkan jalannya pemerintahan di Himsh setelah dipimpin guru baru itu. Selain mengenai pemerintahan, utusan tersebut juga diminta untuk melaporkan daftar nama penduduk Himsh yang miskin.


Khalifah terkejut ketika membaca salah satu diantara nama fakir miskin itu terdapat nama Said bin Amir.
“Siapa Said bin Amir yang kalian sebut dalam daftar ini, hai utusan?”
“Beliau adalah gubernur kami, Khalifah,” jawab mereka
“Benarkah ia miskin?”
“Sungguh, ya Amirul Mukminin. Demi Allah! Kami sering melihat dapur rumah tangga Gubernur tidak menampakkan asap”
Tidak terasa Khalifah Umar meneteskan airmata, jenggotnya yang lebat telah basah oleh airmatanya. Maka ketika utusan itu hendak pulang kembali ke Himsh, Khalifah Umar menitipkan salam dan pundi-pundi berisi sejumlah uang untuk membantu Said bin Amir.
Sesampai di Himsh, utusan segera menyampaikan pesan dan salam Khalifah Umar kepada Said bin Amir.


Ketika sang utusan menyerahkan pundi-pundi berisi uang, seketika Gubernur Said mengucapkan “Innaa lillaahi wa inna ‘ilayhi raa ji’uun”


Ucapan tersebut cukup keras, istrinya jadi terkejut dan berlari mendekat, “Apa yang terjadi, duhai suamiku? Wafatkah Amirul Mukminin?”


Istri Said semakin tidak mengerti apa yang dirasakan oleh Said, ia amat penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya yang telah terjadi.
“Ada yang lebih besar dari meninggalnya Amirul Mukminin.”
“Apa gerangan yang lebih besar dari itu?”
“Dunia sudah datang dan akan merusak akhiratku, petaka telah masuk kedalam rumah kita.”
“Enyahkanlah kita dari perkara yang engkau maksudkan itu suamiku” pinta istrinya.
“Sudikah engkau menolongku, Istriku?”
“Apa yang harus kulakukan?”
“Itu! Ambillah dan bagikan kepada fakir miskin yang lebih membutuhkan dari diri kita,” perintah Said kepada istrinya sambil menuding kepada pundi-pundi yang berisi uang.
Dengan setia istri Said segera mengambil pundi-pundi dan membagikan uangnya kepada fakir miskin.


Beberapa waktu kemudian, Khalifah Umar mengadakan peninjauan ke wilayah Syiria. Karena letak Syiria berdekatan dengan Himsh, dalam kesempatan itu Khalifah Umar ingin menyelidiki kelemahan Gubernur Said bin Amir, sebagaimana banyak dipergunjingkan orang-orang.
“Ya Amirul Mukminin, sebenarnya aku tidak perlu menjawabnya tetapi jika hal itu yang engkau kehendaki apa boleh buat, tentu aku akan menjawabnya.”
“Benarkah engkau selalu berangkat ke kantor terlambat?
“Benar ya Amirul Mukminin. Karena aku tidak punya pembantu, tiap hari aku harus membuat adonan roti dan memasaknya terlebih dahulu, setelah itu barulah aku berwudhu dan berangkat tugas melayani masyarakat” kata Amir dengan lembut.
“Yang kedua, katanya engkau menolak melayani masyarakat di waktu malam hari?”
“Tadi aku sudah bilang, sesungguhnya hal yang Khalifah tanyakan tentu akan berat bagiku untuk menjawabnya, terlebih yang kedua. Ketahuilah, siang hari waktuku telah kuperuntukkan bagi masyarakat, maka malam harinya kugunakan untuk mendekatkan diri kepada Ilahi Rabbi”
“Kemudian katanya dalam sebulan engkau pasti tidak masuk  ke kantor sehari? Apa benar?” “Benar wahai Amirul Mukminin, karena aku hanya memiliki sepasang pakaian, maka aku menggunakan seharian. Satu hari aku tidak masuk kantor dalam sebulan, aku gunakan untuk mencuci pakaian tersebut. Demikianlah, karena aku tidak punya pembantu”
Sumber: Kak Bimo, Mahir Mendongeng -Membangun dan Mendidik Karakter Anak Melalui Cerita-, Pro-U Media


Ditengah ramainya demo, status, dan segala pro kontra mengenai kenaikan BBM…semoga kelak -jika bukan sekarang- akan lahir pemimpin-pemimpin yang tidak menjabat untuk kepentingan pribadi maupun golongannya, pemimpin yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin tidak hanya sekedar pertanggungjawaban dunia, bukan pemimpin yang hidup dalam gelimang kemewahan dan nikmatnya kemudahan.


Sebagai pendidik, semoga kita mampu dan dimudahkan membentuk jundi-jundi Allah, yang bahkan untuk sekedar menyontek pun sangat malu, karena sadar bahwa ada Dzat yang mengawasinya. Tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin bukan  ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar